SEPENGGAL CERITA DARI PASEBAN


            Kamis 27 juli 2017 kemarin, kami mengikuti kegiatan yang diadakan oleh Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa timur yaitu pelatihan pemetaan parsipatif di desa paseban kabupaten jember. peserta dari pelatihan ini adalah warga desa paseban, meliputi perangkat desa, kepala dusun (kasun), karang taruna dan juga kami dari MAHAPENA FEB Univ. Jember. Pelatihan ini bertujuan untuk mengetahui batas wilayah desa paseban yang mana nantinya dapat dijadikan sebagai salah satu alat perjuangan mereka dalam menolak tambang. Sementara untuk kami wakil dari MAHAPENA yang merupakan anggota WALHI yang berada di jember, hal ini adalah salah satu bentuk pengabdian kami sebagai organisasi pecinta alam.
para peserta pelatihan
            Desa Paseban sendiri merupakan salah satu daerah yang berada di pesisir pantai selatan jawa, desa tersebut merupakan salah satu kawasan yang mengandung mineral berupa pasir besi yang diinginkan oleh banyak pengusaha tambang. Dalam Kepmen ESDM No. 1204 K/30/MEM/2014 tentang penetapan wilayah pertambangan jawa dan bali, wilayah pantai  pesisir selatan jawa berwarna biru terang yang artinya kawasan pertambangan akan di operasikan. Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten jember juga menyebutkan bahwa wilayah pesisir selatan jember (sepanjang garis pantai paseban sampai merubetiri) adalah wilayah minerba yang dapat dioperasikan tambang untuk mengambil hasil alamnya. Masyarakat desa paseban tidak ingin pesisir pantainya ditambang, karena mereka sadar bahwa hal itu dapat merusak ekosistem dan mengganggu aktivitas petanian mereka, bersama mereka mendirikan AMPEL (Asosiasi Masyarakat Peduli Lingkungan) sebagai forum dan wadah pemersatu mereka dalam mencapai kepentingan bersama. Banyak aksi yang telah mereka lakukan, mulai dari aksi demo sampai yang cukup anarkis yaitu pembakaran pos keamanan.
Pelatihan pemetaan yang diberikan oleh WALHI  menjadi salah satu cara pendampingan dalam perjuangan bersama menyelmatkan lingkungan. Peta yang dibuat bukan hanya memuat tentang batas wilayah, tapi juga berisi informasi tentang kawasan pertanian, kawasan rentan bencana, kawasan potensi ekonomi berbasis lingkungan, bagitu yang disampaikan oleh Rere seorang eksekutif WALHI saat membuka acara pelatihan pemetaan tersebut. Acara pelatihan ini berpusat di kediaman pak Cip salah satu tokoh AMPEL.
 
Hari pertama pelatihan diisi dengan sosialisasi tentang apa itu peta dan semua seluk beluknya. Kemudian setelah penjelasan panjang lebar oleh mas Ucok sebagai pemateri pelatihan, ada sesi diskusi. Warga menanyakan tentang fungsi pemetaan tersebut dan hubungannya dengan aksi menolak tambang mereka, mas ucok menjelaskan bahwa peta merupakan sebuah alat dimana alat tersebut bisa jadi kebakan bahkan bisa menyebabkan malapetaka, peta itu nantinya dapat digunakan warga sebagai senjata untuk menolak tambang apabila nanti mengajukan gugatan atau penolakan secara hokum ke Pemda maupun DPR jember atau bahkan pemerintah diatasnya. Namun sebagai alat, pemetaan juga di gunakan oleh perusahaan tambang dalam industrinya. Setelah diberikan penjelasan, antusiasme
pengenalan peta
warga dalam mengikuti pelatihan meningkat. Pada hari pertama hanya diisi dengan sosialisasi dan diskusi bersama, tidak menyentuh bagian tekniknya. Pada malam hari, pemuda dari karang taruna yang tadi siang tidak menghadiri sosialisasi menghampiri kami (dari MAHAPENA dan anggota WALHI yang lain)  di rumah pak Cip tempat kami menginap, malam itu mereka menyampaikan ketertarikannya dengan acara pelatihan pemetaan dan akan mengutus anggotanya untukmengikuti pelatihan, mereka bilang bahwa yang berjuang bukan cuma orang yang tua tetapi yang muda juga harus ikut berjuang karena pemuda yang akan meneruskan perjuangan kelak. Hal ini disambut baik oleh kami, karena pemahaman teknologi para pemuda lebih baik dari pada orang-orang yang tua.

Keesokan harinya yaitu hari jum’at 28 juli, peserta pelatihan yang terdiri dari perangkat desa, kasun, anggota karang taruna, serta kami mendapat penjelasan teknis tentang pemetaan. Berbeda dengan kami di MAHAPENA yang melakukan pemetaan untuk aktivitas olah raga alam bebas kami, dipelatihan ini mengulas teknik pemetaan dalam membuat peta untuk kepentingan advokasi lingkungan. Alat yang digunakan adalah GPS (anak gunung pasti kenal) dan aplikasi sistem informasi geografis (SIG, dalam bahasa inggris GIS), juga informasi dari warga yang memuat cerita budaya daerah tersebut. Selanjutnya para peserta dibagi menjadi empat kelompok sesuai dengan jumlah dusun yang ada yaitu dusun Bulurejo, dusun Sidomulyo, dusun Balekambang, dan dusun Paseban sendiri untuk menentukan titik koordinat batas luar desa, masing masing kelompok dipimpin oleh kasun masing-masing sebagai pihak yang mengerti akan daerahnya. Koordinat batas-batas luar desa berfungsi untuk mengetahui letak dan luas sebenarnya dari pada batas yang terbuat dari patok batas alam seperti pohon, juga nantinya dapat dimasukkan dalam database peta yang beredar diinternet.pengambilan titik koordinat dimulai setelah ibadah shalat jum’at sampai sore hari sekitar pukul 3 sore, pengambilan titik koordinat tidak sampai petang karena warga yang mempunyai kesibukan sebagai petani dan pemelihara ternak, data koordinat kemudian dikumpulkan dan diolah oleh mas Ucok. Pemuda karang taruna pada malam hari diberikan pelatihan mengolah data menggunakan aplikasi sistem informasi geografis (GIS) dengan menggunakan data yang telah dikumpulkan tadi siang sebagi sumbernya.

          Pengambilan titik koordinat batas luar desa selanjutnya dilakukan pada hari sabtu siang karena pihak perangkat desa masih mengatur pembagian bantuan beras bulog, hasil dari olah data koordinat kemarin sebelumnya ditunjukkan kepeserta untuk mendapatkan penyesuaian sesuai dengan apa yang diketahui peserta. Kali ini tidak dibagi menjadi empat seperti kemarin, tetapi menjadi dua kelompok, karena tinggal dua dusun yang belum selesai, ini merupakan pengambilan data koordinat terahir. Dalam peta juga memuat informasi sosial didalamnya, maka dari itu selain mengabil data koordinat, data informsi dari warga setempat juga di ambil kemudian diolah menjadi satu kesatuan, mas Ucok bilang “informasi sosial atau cerita dibalik tempat tersebutlah yang mahal dan sangat penting karena itu merupakan bagian dari adat budaya masyarakat setempat”, Pengambilan data sosial di lakukan dengan proses wawancara dan juga dari penjelasan peserta yang mengikuti pelatihan. Selanjutnya, data diolah sampai hari minggu, dan dipresentasikan ke warga pada hari senin dibalai desa Paseban.
pengambilan titik koordinat
Kami dari MAHAPENA hanya mengikuti kegiatan tersebut sampai pada hari minggu 30 juli, dari pengalaman mengikuti pelatihan tersebut kami dapat pemahaman baru tentang menjaga lingkungan atau konservasi, bukan cuma sekedar anveg, plaster cast dan herbarium. Tapi juga sikap menolak dan membela saat ekosistem alam dirusak oleh tambang yang saat ini masih memberikan banyak bencana daripada uang keuntungan yang dihasilkan. Bukan kami tidak menerima tambang, tapi yang kami inginkan adalah menggunakan sumber daya alam sesuai dengan kebutuhannya (kode etik pecinta alam) dan diterapkannya ekonomi berkelanjutan yang banyak di ajarkan dibangku-bangku pembelajaran.
 

Komentar

Posting Komentar